Archive for Januari 2020
KRITIK ARSITEKTUR
Nama : Dimas Yulinko I
NPM : 22316068
Kelas : 4TB03
Definisi Kritik Arsitektur
Kritik adalah masalah
penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan
pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. [1].
Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani κριτικός, kritikós –
“yang membedakan”, kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuna κριτής,
krités, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”,
“pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”. Istilah ini biasa
dipergunakan untuk menggambarkan seorang pengikut posisi yang berselisih dengan
atau menentang objek kritikan.
Kritikus modern mencakup
kaum profesi atau amatir yang secara teratur memberikan pendapat atau
menginterpretasikan seni pentas atau karya lain (seperti karya seniman,
ilmuwan, musisi atau aktor) dan, biasanya, menerbitkan pengamatan mereka,
sering di jurnal ilmiah. Kaum kritikus banyak jumlahnya di berbagai bidang,
termasuk kritikus seni, musik, film, teater atau sandiwara, rumah makan dan
penerbitan ilmiah
Metode Kritik
Normatif
Hakikat kritik normatif
adalah adanya keyakinan (conviction) bahwa di lingkungan dunia manapun,
bangunan dan wilayah perkotaan selalu dibangun melalui suatu model, pola,
standar, atau sandaran sebagai sebuah prinsip. Melalui suatu prinsip,
keberhasilan kualitas lingkungan buatan dapat dinilai. Suatu norma tidak saja
berupa standar fisik yang dapat dikuantifikasi tetapi juga non fisik yang
kualitatif. Norma juga berupa sesuatu yang tidak konkret dan bersifat umum dan
hampir tidak ada kaitannya dengan bangunan sebagai sebuah benda konstruksi.
Kritik
Normatif
Karena
kompleksitas, abstraksi dan kekhususannya kritik normatif perlu dibedakan dalam
metode sebagai berikut :
·
Metoda
Doktrin (satu norma yang bersifat general, pernyataan prinsip yang tak terukur)
·
Metoda
Sistemik (suatu norma penyusunan elemen-elemen yang saling berkaitan untuk satu
tujuan)
·
Metoda
Tipikal (suatu norma yang didasarkan pada model yang digeneralisasi untuk satu
kategori bangunan spesifik)
·
Metoda
Terukur (sekumpulan dugaan yang mampu mendefinisikan bangunan dengan baik
secara kuantitatif)
Kelebihan
Kritik Doktrinal
·
Dapat
menjadi guideline tunggal sehingga terlepas dari pemahaman yang samar dalam
arsitektur
·
Dapat
memberi arah yang lebih jelas dalam pengambilan keputusan
·
Dapat
memberikan daya yang kuat dalam menginterpretasi ruang
·
Dengan
doktrin perancang merasa bergerak dalam nilai moralitas yang benar
·
Memberikan
kepastian dalam arsitektur yang ambigu
·
Memperkaya
penafsiran
Kekurangan
Kritik Doktrinal
·
Mendorong
segala sesuatunya tampak mudah
·
Mengarahkan
penilaian menjadi lebih sederhana
·
Menganggap
kebenaran dalam lingkup yang tunggal
·
Meletakkan
kebenaran lebih kepada pertimbangan secara individual
·
Memandang
arsitektur secara parsial
·
Memungkinkan
tumbuhnya pemikiran dengan kebenaran yang “absolut”
·
Memperlebar
tingkat konflik dalam wacana teoritik arsitektur
PERPUSTAKAAN NASIONAL, RI
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(Perpusnas) adalah Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang melaksanakan tugas
pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan
pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian,
perpustakaan pelestarian, dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan
di ibukota negara. Perpustakaan Nasional berada di Jalan Medan Merdeka Selatan
11, Jakarta dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pada
tanggal 14 September 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan Perpusnas baru yang
merupakan perpustakaan nasional tertinggi di dunia (126,3 meter) dengan 27
lantai, termasuk tiga lantai parkir bawah tanah (basement).
Awalnya, Perpustakaan Nasional RI
merupakan salah satu perwujudan dari penerapan dan pengembangan sistem nasional
perpustakaan, secara menyeluruh dan terpadu, sejak dicanangkan pendiriannya
tanggal 17 Mei 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef.
Ketika itu kedudukannya masih berada dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan setingkat eselon II di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan
badan ini merupakan hasil integrasi dari empat perpustakaan besar di Jakarta.
Walau secara resmi Perpustakaan Nasional
berdiri di pertengahan 1980, namun integrasi keseluruhan secara fisik baru
dapat dilakukan pada Januari 1981. Sampai tahun 1987 Perpusnas masih berlokasi
di tiga tempat terpisah, yaitu di Jl. Merdeka Barat 12 (Museum Nasional), Jl.
Merdeka Selatan 11 (Perpustakaan SPS)
dan Jl. Imam Bonjol 1 (Museum Naskah Proklamasi). Sebagai kepala Perpustakaan
Nasional adalah ibu Mastini Hardjoprakoso, MLS, mantan kepala Perpustakaan
Museum Nasional.
Atas prakarsa Almarhumah Ibu Tien
Suharto, melalui Yayasan Harapan Kita yang dipimpinnya, Perpustakaan Nasional
memperoleh sumbangan tanah seluas 16,000 m² lebih berikut gedung baru berlantai
sembilan dan sebuah bangunan yang direnovasi. Lahan yang terletak di Jl.
Salemba Raya 28A, Jakarta Pusat, merupakan lokasi Koning Willem III School
(Kawedri), yakni sekolah HBS pertama di Indonesia ketika zaman kolonial.
Bangunan sekolah inilah yang kemudian setelah direnovasi menjadi gedung utama
yang digunakan untuk kantor pimpinan dan sekretariat. Gedung di sebelahnya yang
berlantai sembilan berfungsi sebagai perpustakaan yang sebenarnya, di mana
koleksi bahan pustaka tersimpan dan dilayankan untuk umum.
Dengan selesainya pengerjaan sebagian
gedung baru maupun yang direnovasi di Jl. Salemba Raya 28A pada awal 1987,
pimpinan dan staf dari tiga bidang (kecuali Bidang Koleksi) pindah ke lokasi
tersebut. Gedung baru itu beserta segala perlengkapannya menyatukan semua
kegiatan di bawah satu atap yang sebelumnya terpencar di beberapa tempat di
Jakarta. Pada usia Perpusnas yang ke-9, secara resmi kompleks itu dibuka yang
ditandai dengan penandatanganan sebuah prasasti marmer oleh Presiden dan Ibu
Tien Suharto pada tanggal 11 Maret 1989.
Namun, sejalan dengan peresmian kompleks
tersebut, sebetulnya ada peristiwa lain yang tidak kalah pentingnya. Sejarah
mencatat bahwa lima hari sebelumnya, tepatnya tanggal 6 Maret 1989, telah
ditandatangani sebuah keputusan monumental oleh Presiden RI melalui keputusan
presiden Nomor 11 Tahun 1989 ini menetapkan Perpustakaan Nasional, setelah
digabung dengan Pusat Pembinaan Perpustakaan (pimpinan Drs. Soekarman, MLS) ,
menjadi Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kenaikan
status kelembagaan ini juga berarti Perpusnas dilepas dari jurisdiksi
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Departemen Pendidikan Nasional), badan induknya yang telah membesarkannya sejak
1980. Ibu Mastini Hardjoprakoso masih dipercaya oleh Pemerintah untuk memimpin
lembaga baru ini. Kenyataan ini sekaligus membuktikan komitmen Pemerintah di
dalam menaikkan derajat perpustakaan (dan pustakawan) yang selama itu dirasakan
selalu "dilupakan". Menurut catatan ketika penggabungan, jumlah
koleksi berkisar di angka 600 ribu eksemplar, ditangani oleh sekitar 500 orang
karyawan yang berlokasi di dua tempat terpisah, Jl. Salemba Raya 28A dan Jl.
Merdeka Selatan 11. Saat ini (Desember 1999) jumlah koleksi diperkirakan
1,100,00 eks, dan jumlah karyawan 700 orang.
Dengan semakin bertambahnya beban tugas
dan sejalan dengan kiat Perpusnas dalam menerapkan layanan prima kepada
masyarakat, maka diterbitkanlah Keputusan PresidenNomor 50 Tahun 1997
tertanggal 29 Desember 1997. Keppres ini menyempurnakan susunan organisasi,
tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional guna mengantisipasi era globalisasi
informasi yang sudah kian mendekat. Di antara penyempurnaan tersebut adalah
menciptakan jabatan deputi setingkat eselon IB dan menaikkan status
Perpustakaan Nasional Provinsi (d.h. Perpustakaan Daerah) menjadi eselon II. Melanjutkan
kepemimpinan sebelumnya, Hernandono, MA, MLS, menjadi kepala Perpusnas sejak
Oktober 1998.
Perpustakaan Nasional RI kini menjadi
perpustakaan yang berskala nasional dalam arti yang sesungguhnya, yaitu sebuah
lembaga yang tidak hanya melayani anggota suatu perkumpulan ilmu pengetahuan
tertentu, tapi juga melayani anggota masyarakat dari semua lapisan dan
golongan. Walau terbuka untuk umum, koleksinya bersifat tertutup dan tidak
dipinjamkan untuk dibawa pulang. Layanan itu tidak terbatas hanya pada layanan
untuk upaya pengembangan ilmu pengetahuan saja, melainkan pula dalam memenuhi
kebutuhan bahan pustaka, khususnya bidang ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan,
guna mencerdaskan kehidupan bangsa.